Komunitas Pembelajar

Pengurus Wilayah

Pelajar Islam Indonesia ( PII )

Sumatera Barat

Gedung Student Centre Jln.Gunung Pangilun Padang ( Depan MTsN Model Padang)

Search

Minggu, 29 November 2009

Kebangkitan Anak Nagari 2




Setelah sukses dengan kebangkitan anak nagari 1 di kecamatan Nan Sabaris tanggal 15 November yang lalu, komite peduli pelajar-pelajar islam indonesia kembali mengadakan Kebangkitan Anak Nagari 2 (KAN 2) pada tanggal 22 november 2009, kali ini diadakan di kecamatan sungai limau padang pariaman, tepatnya di SMA 2 kecamatan Sungai limau.







KAN2 kali ini diikuti oleh 5 sekolah, yaitu SMA1, SMA2,MAN 2,SMP1 dan SMP 3 kecamatan sungai limau.






Kebangkitan anak nagari kali ini dibuka secara langsung oleh pihak SMA 2 yang diwakili oleh wakil kepala karena pada saat yang bersamaan Kepala SMA 2 sedang mengikuti rapat pembangunan sekolah lanjut.






dalam sambutannya pihak SMA 2 mengatakan bahwa akan memfasilitasi semua kegiatan yang bersifat pengembangan terhadap kapasitas pelajar, berkaitan dengan itu semua alumni KAN 2 juga akan tergabung dalam komunitas "pelajar pemimpin dan berprestasi" yang merupakan komunitas yang dibentuk oleh Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Sumatera Barat guna mengembangkan kapasitas diri pelajar.







Kebangkitan kali ini juga menghadirkan Kanda efrizal S.Sos dari Cendekia Institute yang juga merupakan eks.Pengurus Besar Pelajar islam Indonsia (PB PII), sehingga dengan kehadiran beliau team KPP-PII juga dapat menambah wawasan dalam pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia khususnya pelajar.


Jumat, 27 November 2009

MA Menolak Kasasi UN




Rabu, 25 November 2009 - 10:46 wib
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan ini, UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakannya.





Berdasarkan informasi perkara di situs resmi MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono dkk tersebut diputus pada 14 September 2009 lalu oleh majelis hakim yang terdiri atas Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said.









Putusan perkara dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah.





Dalam putusannya, para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.





Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, terutama sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan UN.





Pemerintah diminta pula untuk segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN
(sumber : http://news.okezone.com/read/2009/11/25/337/278984/ma-larang-pemerintah-gelar-ujian-nasional)

SELAMAT IDUL ADHA 1430 H




SEGENAP PENGURUS WILAYAH


PELAJAR ISLAM INDONESIA SUMATERA BARAT 2009-2011


MENGUCAPKAN SELAMAT IDUL ADHA 1430 H!

Selasa, 17 November 2009

“KEBANGKITAN ANAK NAGARI” KOMITE PEDULI PELAJAR-PELAJAR ISLAM INDONESIA (KPP-PII) SUMATERA BARAT

Komite Peduli Pelajar-Pelajar Islam Indonesia (KPP-PII), Minggu 15 November 2009 mengadakan kegiatan pelatihan motivasi untuk pelajar di daerah gempa, tepatnya di SMPN1 Kec.Nan Sabaris Kab. Padang Pariaman.
Kegiatan yang dibalut dengan nama “kebangkitan Anak Nagari “ ini merupakan pelatihan motivasi untuk pelajar di daerah gempa, dengan adanya kegiatan ini diharapkan pelajar tidak hanya bisa beraktivitas secara normal tetapi lebih baik dari waktu sebelum gempa terjadi.


“Kebangkitan Anak Nagari” (KAN) 1, diikuti oleh pelajar dari 3 sekolah di lingkungan kec.Nan Sabaris yaitu : SMPN 1, MTsN dan SMAN 1 Kec.Nan Sabaris. Adapun yang menjadi utusan dari masing-masing sekolah adalah para pengurus OSIS masing-masing sekolah. Selanjutnya Alumni KAN 1 ini akan tergabung dalam komunitas “Pelajar Pemimpin dan Berprestasi “ yang merupakan komunitas yang dibuat oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk memfasilitasi pelajar dalam mengembangkan kapasitas diri.
Pada tahap berikutnya Kebangkitan Anak Nagari ini akan dilaksanakan di kecamatan.yang berbeda di lingkungan Kabupaten dan kota Pariaman. KAN ini terselenggara atas partisipasi dan bantuan para dermawan untuk pelajar korban gempa melalui KPP-PII.

Senin, 09 November 2009

Permasalahan PII yang kompleks di satu sisi bisa kita pahami jika menimbang usianya yang sudah 62 tahun. Namun, jika melihat usia para penggerak organisasi yang notabene masih muda (pelajar), kompleksitas persoalan PII harusnya tidak sampai berlarut-larut seperti sekarang. Tuanya usia organisasi dan mudanya para penggerak seharusnya menjadi paduan yang bisa mengakhiri berlarut-larutnya persoalan PII saat ini. Beberapa persoalan yang rata-rata mengemuka, dari hasil pengamatan kami di beberapa pengurus PII, antara lain; kesulitan memperoleh kader penerus, jalannya kepengurusan yang sering vacuum, semakin berkurangnya basis, tidak berjalannya follow up kader pasca basic trainning, banyaknya pengurus yang mundur dalam satu periode kepengurusan, sulitnya menjalankan program-program yang non-konvensional (diluar trainning), dan meningkatnya konflik internal.


Persoalan yang disebutkan diatas bisa mewakili klaim kita kita bahwa memang persoalan PII saat ini sangat kompleks. Dalam beberapa periode terakhir, di tingkat Pengurus Besar dan di beberapa wilayah, sudah ada upaya-upaya untuk mengatasi hal tersebut. Secara nasional, pasca 1998, beberapa konsep yang dilahirkan antara lain Gerakan Seribu Komisariat, peremajaan usia kader, penambahan konsep kekaryaan dalam catur bhakti, dan terakhir adalah perubahan komisariat menjadi komunitas. Dengan tidak mengurangi penghargaan kita terhadap upaya-upaya tersebut, kita tetap harus melihat realitas PII sekarang secara kritis. Kenyataannya, setelah berbagai upaya tersebut, terlepas dari polemik apakah betul telah maksimal ataukah belum dalam implementasi, persoalan PII yang kita sebutkan diatas tetap saja masih ada dan bertambah parah.

Jika kita memakai pe-ibarat-an, maka bolehlah kita mengibaratkan segala upaya yang telah dilakukan tetapi tetap saja meninggalkan persoalan yang sama adalah seperti ”memotong rumput”. Jikalau kita ingin membersihkan rumput maka haruslah mencabut sampai ke akarnya. Pertanyaan kita kemudian adalah apa yang menjadi akar persoalan dari kompleksitas persoalan PII? Akar persoalan yang menumbuhkan kompleksitas! Makalah ini tidak akan menjawab persoalan yang disebutkan diatas satu persatu karena modusnya bisa sangat kasuistik. Makalah ini akan mencoba menelusuri akar persoalan dengan mengkaji prinsip-prinsip dasar bangunan sebuah gerakan.

Objek Kritik sebagai Raison de Etre

Sebuah gerakan selalu muncul karena ada sebuah situasi dan kondisi yang tidak ideal. Para pendiri gerakan selalu mengemukakkan kritik-kritik terhadap persoalan yang mereka anggap harus disikapi dan dicarikan solusi. Pada akhirnya sebuah gerakan akan menetapkan suatu sikap dan mempertegas posisi terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi. Pembacaan terhadap realitas sosial, menyampaikan kritik, menawarkan solusi, sehingga akhirnya melakukan perekrutan, adalah cikal bakal lahirnya sebuah gerakan. Dalam hal ini, validitas/ketepatan bacaan terhadap realitas menjadi penentu diterima/tidaknya sebuah gerakan oleh massa.

Raison de etre, atau alasan keberadaan sebuah gerakan berisi kritik yang menyiratkan idealisme. Realitas dihadapkan pada idealitas. Idealitas dibangun dari sumber-sumber nilai yang berada dalam rasio atau agama. Dalam kasus PII maka sumber nilai itu adalah segala sesuatu yang menjadi sumber nilai agama Islam. Jadi idealisme ”kesatuan umat” adalah konsep yang memuat niali-nilai yang bersumber dari Islam. Realitas keumatan yang terpecah belah menjadi raison de etre PII. Dalam pilihan strategisnya PII mengambil peran di segmen pelajar, dengan kata lain subjek seklaigus objek gerakan PII adalah pelajar.

Namun, mengingat raison de etre adalah realitas, maka dinamika/perubahan adalah sesuatu yang niscaya dialami. Dengan demikian muncullah pertanyaan,”apakah realitas yang menjadi alasan keberadaan PII masih kontekstual”? Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh A. Munir Mulkhan yang membahas tentang permasalahan dikotomi santri-abangan, menjelaskan bahwa pada akhir 1970-an dikotomi santri abangan sudah tidak relevan lagi. Artinya bahwa objek kritik PII, dimana menyatakan sistem pendidikan sebagai sumber perpecahan umat dengan membagi dalam dikotomi santri-abangan, sudah tidak ada! Raison de etre PII sudah tidak ada lagi. Perubahan kebijakan di zaman orde baru telah menghilangkan dikotomi tersebut dengan cara menghilangkan diskriminasi terhadap kaum santri dan membuka peluang yang sama antara santri dan abangan dalam mengelola negara. Walaupun kajian tersebut ditujukan kepada politik keterwakilan di pemerintahan, namun bisa digeneralisasi ke dalam lapangan sosial budaya. Dalam dunia pendidikan, terbentuknya institusi pendidikan yang mengakomodir ilmu umum dan ilmu keagamaan dalam satu sekolah oleh pemerintah, menjadi indikasi telah selesainya fenomena dikotomi santri abangan di level elit dan massa.

Dalam nalar sederhana, jika alasan sudah tidak ada maka seharusnya segala sesuatu tersebut tidak perlu diteruskan. Tetapi yang terjadi di PII adalah tidak demikian, PII masih mempertahankan eksistensinya. Keganjilan ini bukanlah sesuatu yang perlu kita bingungkan. Dalam banyak kasus, eksistensi gerakan tidak selalu berpatok pada tujuan awal. Terdapat banyak tujuan alternatif yang secara evolutif terbentuk dalam sebuah gerakan. Tujuan yang demikian bisa bersifat idealistis atau pragmatis. Setelah tujuan awal kehilangan alasannya, dan sebelum tujuan alternatif menjadi orientasi baru gerakan maka diperlukan suatu fase re-orientasi. Dalam fase ini akan terjadi dinamika yang bertujuan menentukan tujuan dan strategi baru. Dengan demikian, apakah pada akhir tahun 1980an terjadi dinamika di internal PII dan melahirkan orientasi baru gerakan? Untuk menjawab persoalan tersebut tidaklah pada makalah ini akan diuraikan. Makalah ini akan mengandaikan situasi serupa yang terjadi pada akhir 1990an dimana terjadi perubahan realitas eksternal di wilayah Indonesia. Apakah pada akhir 1990an tersebut terdapat upaya re-orientasi PII?

Re-Orientasi Gerakan PII?

Relasi antara tubuh gerakan dengan realitas eksternal bersifat saling mempengaruhi. Intervensi/rekayasa sosial yang diupayakan oleh gerakan akan mempengaruhi proses perubahan sosial. Demikian pula dengan realitas eksternal, perubahan alamiah yang terjadi di masyarakat akan mempengaruhi asumsi, penilaian, dan strategi gerakan. Relasi ini akan terus terjadi jika upaya saling mempengaruhi tidak berhenti.

Pada zaman orde baru, isu azas tunggal menjadi titik kritis gerakan PII. Terlepas dari pro kontra di internal PII, isu tersebut adalah concern PII selama hampir lebih dari satu dekade. Reformasi 1998 telah memberi pengaruh yang signifikan terhadap anasir isu tersebut. Tumbangnya orde baru telah menghilangkan ”sumber” persoalan seputar azas tunggal. Maka re-orientasi gerakan PII seharusnya terjadi dalam merespon perubahan eksternal tersebut. Pada situasi yang demikian sebuah gerakan harus kembali mereposisi dirinya. Momentum perubahan tersebut telah merubah kisaran dari berbagai elemen sosial politik. Konstelasi yang baru tidak lagi sama seperti sebelum reformasi!

Berbagai upaya perubahan di internal yang dilakukan oleh PII dalam rangka menghadapi perubahan pasca 1998 yang telah kita sebutkan diawal, bisa diartikan sebagai respon PII agar gerakan tetap kontekstual. Namun apakah upaya tersebut sudah menyentuh persoalan mendasar? Dalam sudut pandang saya upaya-upaya tersebut hanya menyentuh bagian tertentu/sektoral dan tidak mendasar. Gerakan seribu komisariat merupakan upaya programatik dalam memperluas lahan garap. Euphoria menyambut reformasi mendorong keinginan untuk secepatnya terjadi peningkatan kuantitas masaa. Seperti yang kita ketahui, upaya tersebut menemui jalan buntu ketika di lapisan masyarakat umum tawaran-tawaran ide PII tidak mendapat sambutan seperti yang dibayangkan. Secara kuantitas, sampai saat ini basis PII semakin berkurang. Kemudian di muktamar Ambon 2006, penambahan konsep kekaryaan di dalam catur bhakti ternyata berhenti hanya pada teks konstitusi. Revitalisasi sistem pengkaderan, yang terakhir pada sarasehan muadib nasional di Jakarta tahun 2008, tidak menemukan jalan keluar untuk mengatasi menyurutnya kuantitas dan kualitas kader. Upaya mutakhir adalah perubahan fungsi komisariat menjadi komunitas, dimana, ide ini disahkan pada muktamar Pontianak tahun 2008. Untuk hal yang terakhir kita belum bisa menilai secara penuh karena saat ini masih dalam periode kepengurusan hasil muktamar tersebut. Untuk sementara, terlihat bahwa upaya tersebut juga jauh dari apa yang diharapkan.

Secara umum bisa dinilai bahwa semua upaya tersebut masih belum menyentuh persoalan mendasar, raison de etre. Gejala umum yang biasa muncul ketika persoalan ini belum terrjawab adalah seringnya muncul pertanyaan; arah kemana gerakan PII saat ini?; perubahan seperti apa yang ditawarkan PII kepada umat?, dan beberapa pertanyaan yang senada. Pada tingkat yang kritis, pertanyaan tersebut akan hadir dan tak terjawab oleh pihak yang secara khusus melakukan kaderisasi, instruktur. Dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap kebebasan interpretasi, apabila pertanyaan tersebut dijawab dalam variasi yang sangat banyak, maka boleh dikatakan telah terjadi miss-orientasi gerakan. Nampaknya gejala inilah yang terjadi pada tubuh PII sekarang.

Kecenderungan romatisme perlu kita perhatikan dalam keadaan miss orientasi. Dalam proses pencarian orientasi baru gerakan, terdapat dua kemungkinan, mengulang kejayaan masa lalu dengan mengambil modus-modus gerakan seperti di masa lalu atau, meng-kreasi modus baru gerakan dengan melakukan upaya pembacaan tentang realitas masa depan. Romantisme seringkali menjadi pilihan mengingat sebuah gerakan, terutama yang bertipikal ideologis, sulit untuk keluar dari kebiasaan. Upaya-upaya untuk keluar dari kebiasaan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang bukan berasal dari dalam gerakan. Para pelaku perubahan dianggap sebagai seseorang yang membuat kerusakan/instabilitas, atau lebih ekstrim disebut pengkhianat (traitor). Jika pelaku perubahan tersebut memiliki kebertahanan ide dan loyalitas tinggi maka perubahan bisa terjadi secara berangsur-angsur, namun jika tidak maka ”mengundurkan diri” adalah pilihan lain apabila tidak diberhentikan. Kemungkinan kedua adalah yang dominan terjadi di PII.

Keharusan re-orinetasi gerakan

Kang Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam menyatakan bahwa tugas dari gerakan iIslam adalah menawarkan cara pandang alternatif terhadap umat Islam. Tugas demikian mengandung arti bahwa realitas sebenarnya memang tidak pernah ideal dan sebuah gerakan harus selalu mengasah sikap kritis terhadap realitas kekinian untuk menggapai idealitas yang di ajarkan Islam. Objek kritik akan selalu ada namun perlu upaya untuk bisa melihat dan menyikapinya. Kemampuan membaca realitas tentu saja membutuhkan kaca mata yang dibentuk dari nilai-nilai dan ilmu pengetahuan. Sikap-sikap seperti ketidakpedulian, jumud, pragmatisme,ashobiah dan sejenisnya yang mengahalangi masuknya ilmu, adalah sikap yang harus dihindari.

Melihat sejarah dan potensi kekuatan yang dimiliki oleh PII, keinginan untuk mempertahankan eksistensi, serta mengingat perubahan eksternal yang begitu nyata dan berlansung cepat, re-orientasi PII adalah keharusan. Perlu disadari bahwa potensi yang dimiliki oleh gerakan PII bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapat. Jejaring yang secara geografis sangat luas, secara kelas sosial bisa ditelusuri dari masyarakat bawah sampai elit kekuasaan, dan karakter khas gerakan yang sudah terbentuk. Apabila upaya penemuan orientasi kontekstual PII tidak segera ditegaskan maka efek ”ekor tikus” akan dialami PII, semakin keujung semakin kecil. Jika keadaan mis orientasi ini dibiarkan berlarut, eksistensi PII bisa tetap dikatakan ada tetapi hanya sekedar sebagai ”penjaga musium”, hanya mengurusi peninggalan-peninggalan generasi lama, dan jika terdesak, barang-barang lama tersebut akan menjadi komoditas yang diperjual belikan.

Beberapa alternatif yang mungkin bisa menjadi pilihan PII bisa kita gali dari rumusan cita-cita perjuangan yang termuat dalam Falsafah Gerakan. Yang perlu diingat dalam upaya penemuan orientasi baru gerakan PII adalah harus berangkat dari sumber nilai yang sama dengan bermodalkan dari segala segala sesuatu yang ada dan ”mengada” di dalam tubuh PII. Jika tidak demikian maka hal tersebut bukan lagi disebut re-orientasi tetapi pembentukan gerakan baru. Jika hal yang terakhir tersebut terjadi maka itu berada diluar konteks re-orientasi. Dengan berkaca pada realitas sosio-religi saat ini, upaya implementasi nilai-nilai Islam bersifat strategis jika mampu mengatasi persoalan-persoalan keterancaman masa depan kehidupan manusia yang berkaitan dengan psikologi sosial dan lingkungan hidup. Gejala individualistik, hilangnya kebermaknaan hidup individu, berkeluarga, dan bermasyarakat, serta gejala ketidakseimbangan alam, adalah beberapa indikasi persoalan manusia dewasa ini. Kemungkinan-kemungkinan lain masih sangat banyak jika kita mempertajam penglihatan dan pendengaran kita akan segala sesuatu yang menjadi jeritan manusia saat ini.

Islam sebagai solusi haruslah dibuktikan dengan kemampuan umatnya dalam menggali petunjuk-petunjuk di Allah di Alqur’an dalam mengatasi persoalan manusia di bumi. Selain membutuhkan penggalian nilai-nilai Islam dengan ilmu pengetahuan, kreasi terorganisir (berjamaah) menjadi faktor penentu dalam pengejawantahan kehendak Allah SWT. wallahu a’lam bisshowwab.

Oleh: M.Ridha
Departemen Pembinaan Wilayah PB PII 2008-20010