Komunitas Pembelajar

Pengurus Wilayah

Pelajar Islam Indonesia ( PII )

Sumatera Barat

Gedung Student Centre Jln.Gunung Pangilun Padang ( Depan MTsN Model Padang)

Search

Sabtu, 20 November 2010

TRADISI INTELEKTUAL ORGANISASI ISLAM DAN MESJID

Reportase 2 : Ta’lim Ali Mingguan

Minggu ,14 Noveber 2010

Secretariat PWPII SUMBAR

Jln Gunuang Pangilun depan Mtsn Model

Tema : TRADISI INTELEKTUAL ORGANISASI ISLAM DAN MESJID

( Adel Wahidi, Efri Yunaidi, Robby Yunianto Utama MS, Hamda, Fikri Asyhari, Rengga Satria, Dan Nasrullah )

Reportase ini merupakan kelanjutan dari Ta’lim Ali sebelumnya ( Jumat 12/11/2010 ) yang bertema seputar tradisi intelektual dan harapan PII SUMBAR untuk kembali memperhatikan dan mempertahankan trtadisi yang hampir terlupahkan.

Kembali saya menukuhkan apayang disampaikan Efri Junaidi ( Ketua Umum PW PII SUMBAR ) pada reportasenya bahwa Sejarah mencatat dan tak terbantahkan, bahwa tidak ada suatu “keluarbiasaan” yang ada/berawal dari luar biasa kemudian tumbuh menjadi sangat luar biasa, tidak ada yang sesuatu yang besar berawal besar dan tetap besar. Akan tetapi semuanya berawal dari biasa dan dengan kuantitas yang tidak besar.

Tradisi intelektual ( seperti : baca, tulis, diskusi ) yang terwariskan ( menjadi budaya ) akan membentuk lingkungan kondusif untuk berkarya, sehingga siapa saja yang ingin berkarya patut membudayakan dan membiasakan tradisi intelektual dan keilmuan dalam setiap aktivitasnya.

Pertemuan ta’lim pada kesempatan ini dimoderatori saya sendiri yang sebelumnya di tugasi Adel Wahidi selaku mu’lim untuk mencari di beberapa sumber tentang organissi islam yang kuat tradisi intelektualnya. Jadi memang pada kesempatan ini Adel ingin membedah beberapa tradisi intelektual yang dipertahankan oleh beberapa organisasi islam.

Masuk ada tema yang akan di bahas, Efri Junaidi memulakan dengan sedkit paparan tentang tradisi intelektual namun beliau mengutakan lebih kepada sisi ketokohan, salah satunya beliau menyebut tokoh filosof bernama Al- Razi dengan hafalan al- quran sebagai tradisinya.

Kalau berbicara tentang organisasi islam yang kuat traddisi intelektualnya dan punya basis gerakan maka pandangan kita tertuju pada Ikhwanul Muslimin. Setiap lini dari kehidupan masyarakat sudah merasakan keberdaannya baik di bidang politik, ekonomi, akademisi , pertahanan dan sebagainya. Dan tentu kita bertanya apa yang menjadi rahasianya?

Tak lain dan tak bukan keberhasilan ikhwanul muslimin adalah bla dari bermula dari halaqoh ( kelompok kecil) yang selalu mempertahankan halaqoh tersebut sebagai tradisinya dan dai halaqoh tersebut juga ia mempertahan tradisi lain seperti baca, tulis, menghafal, diskusi dan sebagainya.

Halaqoh tumbuh menkadi beberapa halaqoh dan kemudian menjadi harokah (gerakan islamiah yang komprehensif ). Namun kuantitas dari harokah tersebut bukanlah target keberhasilan ikhwanul muslimin tetapi kualitas semua pengikutnya adalah standarnya dan bagaimana mempertahankan kualitasnya .

Pernah suatu saat , tahun 1960-an mendorong harokah ini untuk menganut system elitism yaitu mengisolasi muta’arobbi dari masyarakat karena pada saat itu dengan tekanan-tekanan yang ada tidak mungkin dilakukan tarbiah seperti biasanya. Sebagaimana di utaraka Fathi yakan dalam bukunya “ ISLAM ERA GLOBAL “ bahwa harokah pada waktu itu menghadapi tekanan-tekanan yang melampaui batas. Para pemimpinnya digiring ketiang –tiang gantungan. Dan dalam keadaan terbelenggu aktivisnya digiring ke penjara-penjara dan tempat eksekusi. Sehingga mengisolasi mutarabbi adal solusi terakhir pada waktu itu karna tidak memungkinkan bagi muta’arabbi untuk belajar ditengah masyarakat yang mempengaruhinya dengan suasana seperti itu.

Dan yang terakhir bahwa, dalam organisasi islam ( ikhwanul Muslimin ) tersebut yang tak pernah ditinggalkan dari tradisi intelektualnya adalah mesjid. Seperti halnya di Paletina yang merupakan Negara yang tak pernah lepas dari tekanan dan kecaman yahudi laknatullah, yang menjadikan mesjid sebgai temapat yang pertama kali di datangi oleh para perintis gerakan islam. Mereka kembali mengidupkan mesjid yang mendasar dalam islam. Nilai-nilai spiritual yan didapat dari mesjid kemudian di transfer ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan masyarakay umum. Mesjid tidak lagi sekedar tempat shalattetapi menjadi lembaga-lembaga pemudadan tempat perkumpulan pemuda baik dari SMA maupun Dari sekolah dasar.

Jadi itulah seputar pembicaraan dalam kesempatan ta’lim ali tersebut. Terlepas dari beberapa tradisi intelektual seperti baca, tulis dan diskusi, Adel wahidi yang menjadi mualim ali mencoba menjadikan “mesjid” sebagai sentral pembahasan pada waktu itu dan beliau mengaskan organisasi islam yang hilang dari basisnya atau tidak memiliki basis lagi disebabkan salah satunya adalah jauh dari mesjid dan tidak menjadikan mesjid sebagai sentral kegiatan.

Panjang cerita, saya ingin menyimpulkan dengan dua kata sebagai akhir reportase ini yaitu “ KEMBALI KE MESJID “




Robby Yunianto Utama MS

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan beramal shaleh....